DILEMA
MAHASISWA :
IP-TINGGI ATAU BERORGANISASI ?
Oleh; Ali Shodikin
Muqaddimah
Membicarakan hubungan antara pendidikan akademik dan berorganisasi setidaknya terdapat sebuah pertanyaan yang perlu direnungkan bersama. Yakni apakah mahasiswa harus mengejar nilai akademik yang tinggi atau harus konsens di organisasi kemahasiswaan ? Yang ideal mestinya kedua hal tersebut bisa diintegrasikan. Sekalipun praktek di lapangan terdapat banyak kendala yang harus diselesaikan, karena setiap pilihan yang diambil mahasiswa akan berimplikasi pada metodologi dan target akhir yang hendak dicapai.
Membicarakan hubungan antara pendidikan akademik dan berorganisasi setidaknya terdapat sebuah pertanyaan yang perlu direnungkan bersama. Yakni apakah mahasiswa harus mengejar nilai akademik yang tinggi atau harus konsens di organisasi kemahasiswaan ? Yang ideal mestinya kedua hal tersebut bisa diintegrasikan. Sekalipun praktek di lapangan terdapat banyak kendala yang harus diselesaikan, karena setiap pilihan yang diambil mahasiswa akan berimplikasi pada metodologi dan target akhir yang hendak dicapai.
Oleh
karena itu, untuk mengawali tulisan ini saya kutipkan dari gusmus. net “Banyak
sarjana fresh graduate yang IP-nya cumlaude namun kinerja profesionalnya
biasa-biasa saja sehingga karirnya stagnan. Mengapa? Karena sarjana tersebut
semasa kuliahnya menjadi mahasiswa kupu-kupu yang ogah berorganisasi dan
bersosialisasi sehingga tidak mempunyai kemampuan berkomunikasi yang sangat
dibutuhkan di dunia kerja. Belum lagi, banyak profesi tertentu seperti
marketing yang tidak hanya membutuhkan kemampuan berkomunikasi yang baik tapi
juga kemampuan lobbying dan negosiasi. It’s clear, kemampuan komunikasi,
lobbying dan negosiasi tidak akan kita dapatkan di bangku kuliah, tapi akan
kita temukan melalui aktivitas berorganisasi” http://www.gusmus.net
Menjadi
mahasiswa Kupu-kupu (kuliah-pulang-kuliah-pulang) atau mahasiswa kura-kura
(kuliah-rapat-kuliah-rapat) ? Mungkin jawaban dari kalangan mahasiswa bisa
variatif. Ada yang memilih menjadi mahasisiswa kupu-kupu dan ada juga yang
sebaliknya. Dalam perspektif ke-FAI-an mana yang harus dipilih ? Dan inilah
yang akan diulas dalam artikel yang singkat ini.
Sukses Kuliah,
Organisasi dan Karir
Hemat kita, sukses akademik harus dibarengi dengan kemampuan Soft Skill
yang memadahi. Soft Skill yang dimaksud di sini adalah keikutsertaan
mahasiswa dalam wadah-wadah organisasi kemahasiswaan kampus. Dengan berorganisasi, bakat kepemimpinan mahasiswa akan muncul dan terasah. Sikap inisiatif yang melekat pada ciri calon seorang pemimpin akan terasah melalui aktivitas
organisasi. Sikap inisiatif juga sangat dibutuhkan sarjana fresh graduate
yang tengah merintis karir profesionalnya. Dan apalagi setiap lembaga
atau perusahaan pasti akan
memberikan apresiasi positif kepada setiap pegawai maupun karyawannya yang selalu mempunyai inisiatif segar untuk memajukan lembaga atau perusahaan. Sebab pembinaan intelektual dan spiritualisme
Islam yang terjadi di luar kampus tidak bisa dipandang sebelah mata. Banyak
mahasiswa memperoleh kematangan berpikir, wawasan keislaman dan ketrampilan
berorganisasi justru dari kegiatan-kegiatan ekstra kampus. Peran organisaasi
remaja masjid (REMAS), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Himpunan Mahasiswa
Jurusan (HMJ), UKM-KI dan organisasi lainnya terbukti sangat kontributif dalam
menciptakan iklim intelektualisme di kalangan mahasiswa. Tidak aneh, karenanya
jika terdapat banyak perguruan tinggi atau dunia kerja (stakeholder)
yang memilih calon-calon tenaga edukatifnya dan pegawai administrasinya yang
membawa surat rekomendasi dari lembaga atau organisasi ekstra dan
kelompok-kelompok belajar mahasiswa. Alasannya karena mereka dinilai lebih
matang kepribadianya, lebih terampil kerjanya dan lebih dedikatif dalam
menjalankan tugasnya.
Memang melihat kondisi mahasiswa sekarang ini kadang paradoks. Disatu sisi
doa yang selalu diucapkan dan diwiridkan oleh kalangan mahasiswa FAI khususnya
dan ummat Islam pada umumnya selalu “Rabbana atina fiddunnya hasanah wafil
akhirati hasanah”. Disisi yang lain ternyata terdapat jurang kesenjangan
yang begitu lebar dan menganga antara identitas ajaran agama yang diyakini
benar, hebat dan tinggi. Namun realitas
perilaku para pemeluknya seringkali bertentangan dengan ajaran agamanya. Hemat
kita, dari doa ini mengajarkan bahwa setiap mahasiswa tidak boleh sudah puas
dan bangga dengan hanya menyabet IP yang tinggi, namun harus dibarengi juga
dengan mahu dan mampu berorganisasi. Sebab
kalau dirunut ke belakang, mahasiswa yang hanya mengejar IP tinggi
dengan harapan gampang dapat kerja adalah mentalitas peninggalan kolonialisme
Belanda. Kolonialis yang satu ini memang secara sistematis telah mendesain Hindia Belanda
sebagai negara pegawai (Beambtenstaat). Pada masa itu, para orang tua
dari kalangan priyayi (bangsawan) bercita-cita agar anaknya kuliah di OSVIA
(kini IPTDN) yang mencetak calon-calon pegawai
negeri. Padahal minesit seeperti ini, kolonial
Belanda sangat diuntungkan karena mendapatkan suplai
pegawai-pegawai bumiputera yang loyal mengabdi kepada penjajah. Tentu saja,
para mahasiswa OSVIA tersebut tidak diizinkan berorganisasi sebagaimana
rekannya-rekannya di THS (kini ITB) dan STOVIA (kini FK-UI).
Namun ketika kini
Indonesia sudah merdeka
yang ke-67 pada 2012 ini. Plus tidak adanya tekanan dari rezim
Orde Baru, maka kebebasan berorganisasi pun tidak dikekang seperti dulu. Maka,
sudah seeharusnya para mahasiswa tidak lagi menjadi
mahasiswa kupu-kupu yang habis kuliah langsung pulang. Tetapi harus pro aktif mengisi waktu luangnya dengan
aktivitas yang bermanfaat bagi pengembangan dirinya, baik berorganisasi,
berwirausaha (jiwa enterpreneurship) dan lain-lain.
Dari sini kita semua tahu bahwa mahasiswa, disamping harus pandai
berorganisasi dan bahkan kalau perlu harus ditanamkan dan dikembangkan jiwa enterpreneurship.
Untuk menuju kesana, dalam Pandangan Avin Fadilla Helmi-Rista Bintara Megasari ada empat
faktor-faktor yang mempengaruhi karakteristik jiwa enterpreneurship mahasiswa. Pertama,
lingkungan keluarga dan masa kecil. Beberapa penelitian berusaha mengungkap
mengenai pengaruh lingkungan keluarga terhadap pembentukan semangat jiwa enterpreneurship. Ternyata bahwa anak
urutan kelahiran pertama lebih memilih untuk berwirausaha. Namun, penelitian
ini perlu dikaji lebih lanjut. Selanjutnya pengaruh pekerjaan orang tua
terhadap pertumbuhan semangat jiwa enterpreneurship ternyata memiliki pengaruh yang signifikan. Kedua, pendidikan. Faktor pendidikan juga tak kalah
memainkan penting dalam penumbuhan semangat kewirausahaan. Pendidikan tidak
hanya mempengaruhi seseorang untuk melanjutkan usahanya namun juga membantu
dalam mengatasi masalah dalam menjalankan usahanya. Ketiga,
Nilai-nilai Personal. Nilai-nilai personal yang akan mewarnai usaha yang
dikembangkan seorang wirausaha. Nilai personal akan membedakan dirinya dengan
pengusaha lain terutama dalam menjalin hubungan dengan pelanggan, suplier, dan
pihak-pihak lain, serta cara dalam mengatur organisasinya. Dan keempat,
Pengalaman Kerja
(organisasi). Pengalaman organisasi ternyata juga menjadi salah satu pemicu hal yang menyebabkan seseorang untuk menjadi seorang entrepreneur.
KHATIMAH
Sebagai catatan akhir, yaitu
perlunya menyusun kembali format dan strategi antara berorganisasi dan
pendidikan akademik bagi kalangan mahasiswa. Mempertemukan dua tuntutan ini
sangat penting, mengingat tantangan mahasiswa ke depan akan lebih keras dan hebat.
Dan persoalan ini kalau tidak digarap dengan serius dan hati-hati, maka aspek
ini akan banyak diambil alih oleh kelompok-kelompok studi, remaja masjid, dan
organisasi-organisasi politik dan sosial kemasyarakatan yang lain.
Kuliah dan berorganisasi menurut
hemat kita sama pentingnya, asalkan mahasiswa pandai mengatur waktunya. Sebab
ilmu itu bisa didapat dari berbagai sumber, tidak hanya didapat di waktu kuliah
ansich. Dengan organisasi kita bisa dapat ilmu, bagaimana cara memanaj waktu yang efektif dan
efesien ? bagaimana cara menghargai pendapat orang lain? bagaimana cara
bersosialisasi dengan masyarakat ? Dan lain-lain. Dan ilmu seperti ini mungkin
tidak semuanya bisa didapat di dalam bangku perkuliahan. Wallahhu a’lam.
Posting Komentar